Peringatan dari Kehancuran Umat Islam Terdahulu

Alby Writes

kehancuran umat terdahulu

Kehancuran umat terdahulu – Jika ada satu pola yang konsisten dalam Al-Qur’an, itu adalah pengulangan kisah umat-umat terdahulu. Bukan karena Allah kehabisan cerita, tapi karena manusia kerap kehabisan kesadaran. Dalam banyak ayat, Allah mengingatkan tentang kehancuran kaum-kaum sebelum kita—dan bukan dengan nada ancaman belaka, melainkan sebuah ajakan untuk melihat ke dalam diri dan merenung: “Apakah kita berbeda dari mereka?”

Umat Nabi Nuh, kaum ‘Ad, Tsamud, Madyan, hingga Fir’aun dan bala tentaranya, semuanya memiliki satu kesamaan fatal: mereka menolak kebenaran yang dibawa para rasul. Bahkan ketika bukti-bukti telah dikirim, dan waktu telah diberikan. Sebagian menjadi angkuh karena kekuasaan, sebagian lain terbuai oleh materi, dan nggak sedikit yang cuman… mengabaikan.

Di sinilah peringatan Al-Qur’an menjadi sangat kontekstual untuk zaman ini. Bukan sekadar untuk diceramahkan, tapi untuk dicermati. Dan sayangnya, sering kali dilewatkan begitu saja di antara rutinitas tilawah atau bacaan harian.

Contohnya, lihat QS. Al-Fajr ayat 6–14. Allah menyebutkan kaum ‘Ad yang punya pilar-pilar tinggi, kaum Tsamud yang memahat rumah dari gunung-gunung batu, dan Fir’aun sang penindas yang kejam. Mereka semua telah diberi nikmat besar. Tapi apa balasan mereka? Keangkuhan dan kezhaliman. Lalu Allah turunkan azab yang nggak main-main. Banjir, gempa, petir, dan laut yang membelah lalu menelan.

Tapi menariknya, Al-Qur’an nggak berhenti di kisah itu. Ia selalu menutup dengan pelajaran:

اِنَّ فِىۡ ذٰلِكَ لَذِكۡرٰى لِمَنۡ كَانَ لَهٗ قَلۡبٌ اَوۡ اَلۡقَى السَّمۡعَ وَهُوَ شَهِيۡدٌ

“Inna fii zaalika lazikraa liman kaana lahuu qalbun aw alqas sam’a wa huwa shahiid”

Artinya:

“Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.”

Ini bukan cuman tentang takut azab, tapi tentang bagaimana sejarah itu seharusnya menghidupkan nurani.

Baca Juga: Surat Al-Anbiya Ayat 83-84 Arab, Latin dan Artinya

Dalam konteks AlbyTalks.com, banyak refleksi tentang bagaimana umat Islam hari ini perlu me-reset orientasi hidup. Terlalu banyak fokus pada pembangunan fisik—gedung tinggi, infrastruktur mewah, branding Islam sebagai lifestyle—tetapi kosong dari substansi: akhlak, integritas, dan tanggung jawab sosial.

Salah satu kutipan menarik dari diskusi panel daring AlbyTalks bulan lalu menyebut:

“Kalau ‘Ad dan Tsamud dihancurkan karena kesombongan, dan kita hari ini masih memuja kekuasaan, popularitas, dan harta—apa bedanya kita dengan mereka?”

Kita bukan Fir’aun, tapi obsesi terhadap kontrol itu masih ada. Kita bukan kaum Luth, tapi normalisasi penyimpangan sudah jadi budaya pop. Kita bukan Tsamud, tapi banyak dari kita mengagungkan teknologi tanpa spiritualitas. Semua ini bukan tuduhan, tapi ajakan sadar diri.

Bahkan kisah Bani Israil pun disebut berkali-kali bukan untuk mempermalukan satu bangsa, tapi karena pola mereka—mengabaikan nabi, menyimpangkan ajaran, dan menjadikan agama sebagai formalitas—masih sangat mirip dengan kondisi sebagian umat hari ini.

Yang paling mengganggu? Ketika peringatan datang, sering kali kita sibuk mencari pembenaran. “Ah itu zaman dulu.” “Itu kan kaum yang berbeda.” Padahal pola penyimpangan itu universal, dan azab itu turun bukan karena satu dosa, tapi akumulasi ketidakpedulian yang dibiarkan terus menerus.

Ayat-ayat seperti ini seharusnya dibaca dengan rasa gentar, bukan sekadar lewat sebagai rutinitas. Dan bukan berarti Islam agama ketakutan—justru sebaliknya. Ini agama peringatan dan harapan. Setiap kisah kehancuran selalu disandingkan dengan kisah penyelamatan. Nuh diselamatkan. Ibrahim diselamatkan. Luth diselamatkan. Ini pesan: selalu ada jalan keluar, bagi mereka yang kembali.

Jadi, peringatan dalam Al-Qur’an bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk membentuk mental umat yang siaga moral. Yang tahu bahwa kejayaan bukan jaminan, dan kehancuran bisa datang kapan saja—bahkan di tengah kemajuan luar biasa.

Di jaman era digital dan informasi seperti sekarang, bisa jadi kehancuran nggak datang dalam bentuk azab fisik. Tapi dalam bentuk kebingungan identitas, krisis nilai, dan runtuhnya kepercayaan antarumat. Kita nggak perlu laut terbelah untuk menyadari ada yang sedang retak dalam umat ini. Kita cuman perlu merenung dengan jujur.

Mungkin itu sebabnya Al-Qur’an terus mengulang kisah-kisah ini. Karena Tuhan tahu, manusia cenderung lupa… kecuali ia disadarkan terus-menerus.

Bagikan:

[addtoany]

Baca Juga