Puisi aku ingin karya Sapardi Djoko Damono – Kalau kita bicara soal puisi cinta yang sederhana tapi membekas, rasanya sulit menghindar dari karya legendaris Sapardi Djoko Damono yang satu ini. “Aku Ingin” bukan puisi panjang. Malah, kalau dihitung-hitung, jumlah katanya bisa dibilang sedikit. Tapi justru di situ letak kekuatannya, seperti secangkir kopi hitam pekat, tak perlu gula banyak untuk membuatnya terasa.
Bayangkan, hanya dengan dua baris, Sapardi berhasil menyampaikan sesuatu yang sering kali kita kesulitan mengucapkannya dalam percakapan sehari-hari.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada
Buat sebagian orang, puisi ini terasa seperti bisikan pelan. Tidak ada teriakan “aku cinta kamu” atau deretan kata romantis yang klise. Malah, yang ada adalah gambaran alam yang tenang, tapi menusuk. Kayu yang terbakar menjadi abu. Awan yang lenyap menjadi hujan. Semua terjadi tanpa perlu kata-kata.
Baca Juga: Puisi Minta Maaf kepada Orang Tua, Saat Kata “Maaf” Terasa Tak Cukup
Di AlbyTalks.com, puisi ini sering dibahas dalam konteks keindahan minimalisme dalam sastra Indonesia. Sebuah pengingat bahwa kita tak selalu butuh kata-kata panjang untuk menyampaikan rasa yang dalam. Kadang, diam lebih bertenaga daripada ribuan kalimat.
Kalau dibaca sekilas, “Aku Ingin” memang seperti puisi cinta biasa. Tapi, ada lapisan makna lain. Kayu dan api mengajarkan bahwa cinta bisa mengubah kita secara total, kadang menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda dari awalnya. Awan dan hujan mengingatkan bahwa cinta juga adalah proses kehilangan sesuatu yang indah, tapi tidak selalu abadi.
Banyak pembaca merasa seakan Sapardi sedang berbicara langsung kepada mereka. Mungkin karena bahasa yang dipakai tidak rumit. Tidak ada istilah sastra yang membuat dahi berkerut. Semua mengalir seperti percakapan sore di beranda rumah.
Kalau mau jujur, tantangan terbesar justru di situ: bagaimana menulis sesuatu yang sederhana tapi tidak dangkal. Sapardi membuktikan bahwa kesederhanaan bisa memuat kedalaman yang sulit dijelaskan. Dan mungkin itu sebabnya, sejak pertama kali diterbitkan, puisi ini tidak pernah benar-benar hilang dari percakapan publik.
Apakah puisi ini soal cinta romantis? Bisa jadi iya. Tapi banyak juga yang membacanya sebagai cinta universal kepada orang tua, sahabat, atau bahkan kehidupan itu sendiri. Interpretasinya terbuka lebar. Dan di situlah kecantikannya: setiap pembaca bisa menemukan dirinya di dalam kata-kata itu.
Sampai hari ini, “Aku Ingin” terus bergaung di berbagai acara, mulai dari pernikahan hingga postingan media sosial yang penuh perasaan. Entah dibacakan dengan suara bergetar atau ditulis di kertas kecil lalu diselipkan di buku favorit seseorang, maknanya tetap sama: cinta, dalam bentuk yang paling jujur, tidak selalu butuh penjelasan panjang.
Kalau ada satu hal yang bisa kita pelajari dari Sapardi lewat puisi ini, mungkin adalah bahwa rasa tulus sering kali justru lahir dari kesederhanaan. Tidak berlebihan. Tidak memaksa. Hanya ada kehadiran, seperti hujan yang turun diam-diam tapi membasahi segala yang disentuhnya.
Editor: Alby Talks