Doa yang Tak Selesai di Malam Jumat (Puisi)

Alby Writes

“Doa yang Tak Selesai di Malam Jumat”

Malam turun tanpa suara,
angin hanya singgah sebentar di jendela,
dan hati kita — seperti biasa —
masih menyimpan banyak yang belum sempat didoakan.

Ada nama yang sempat disebut,
lalu hilang karena tangis memotong ayat,
bukan karena lupa,
tapi karena tak siap menghadap kenyataan.

Di ruang sepi ini,
lantunan yasin tak hanya untuk yang pergi,
tapi juga untuk diri sendiri,
yang diam-diam mulai lelah menunggu jawaban.

Sajadah tak selalu basah,
kadang hanya dilipat,
diletakkan,
lalu ditatap seolah minta maaf.

Tuhan, malam ini kita bicara lagi ya,
tentang rindu yang belum pulang,
tentang luka yang pura-pura sembuh,
dan tentang harapan yang nyaris padam tapi belum padam.

Lampu kamar redup,
tapi pikiranku terang oleh semua yang belum selesai.
Doa ini mungkin tak sempurna,
tapi malam Jumat mengajarkan: yang tulus lebih utama.

Malam Jumat sering jadi ruang waktu yang berbeda. Di banyak daerah di Indonesia, suasana malam Jumat terasa lebih sunyi. Bukan hanya karena tradisi—seperti tahlilan, yasinan, atau ziarah kubur—tapi juga karena ada yang diam-diam bergema di hati: kesadaran akan kefanaan hidup.

Puisi malam Jumat bukan sekadar bait-bait puitis. Di ruang-ruang digital seperti AlbyTalks.com, puisi ini muncul sebagai refleksi dan bentuk pengingat. Banyak pembaca menganggapnya sebagai sahabat spiritual. Tak sedikit yang mengaku kembali tersadar setelah membaca satu bait yang menyinggung kehilangan, harapan, atau doa yang tak kunjung dijawab.

Mari bicara apa adanya. Malam Jumat bukan selalu soal mistis atau kisah-kisah seram ala cerita rakyat. Justru, banyak kalangan urban mulai memanfaatkannya sebagai waktu kontemplasi. Seperti yang pernah ditulis di AlbyTalks.com “Malam Jumat Romantis.”

Banyak puisi malam Jumat yang menyentuh karena ditulis dari luka. Contohnya:

Malam jumat datang
Ada nama yang tak lagi kusebut di doa
Bukan lupa, tapi reda
Rindu harus tahu batasnya

Bait seperti ini bukan soal patah hati biasa. Ada spiritualitas yang terasa: bahwa kehilangan juga bagian dari iman.

Tapi jangan salah, puisi malam Jumat juga sering disisipi pesan sosial. Banyak kreator puisi menggabungkan refleksi sosial dengan nuansa religius. Misalnya mengangkat isu kemiskinan, pengabaian orang tua, atau kesendirian lansia—semua dalam format puisi. Dan menariknya, puisi semacam ini kerap viral di TikTok atau Instagram Reels. Tak sedikit yang dibacakan dengan suara lirih dan musik latar kalem, menambah efek emosionalnya.

Salah satu kesalahan umum saat menulis puisi malam Jumat—dan ini sering dibahas di forum penulis—adalah terjebak dalam kata-kata klise. Terlalu banyak metafora “langit menangis” atau “sunyi menusuk kalbu”. Padahal pembaca sekarang cenderung lebih tersentuh oleh kesederhanaan. Kalimat seperti “Puisi Minta Maaf kepada Orang Tua, Puisi Menyesal di Ujung Senja” bisa jauh lebih menyayat dibanding diksi rumit.

Jika kamu ingin membuat konten yang menyentuh, atau menulis puisi yang membekas, cobalah mulai dari malam Jumat. Tanyakan, siapa yang sedang dirindukan? Apa yang belum dimaafkan? Doa mana yang belum berani diucapkan?

Karena bisa jadi, justru malam Jumat adalah saat paling tepat untuk menyusunnya jadi bait.

Bagikan:

Tags

Baca Juga